AB844. Pulitzer 2015 Untuk The Sixth Extinction Dan Pak Dower

 
 

Rahma Sarita: assalamualaikum wr wb

HAL: Pulitzer 2015 Untuk The Sixth Extinction Dan Pak Dower

 
 

22 April 2015 malam hari jam 7.35PM waktu Jakarta, tweet Bill Gates memuat ucapan selamat kepada Elizabeth Kolbert yang mendapat hadiah Pulitzer 2015 untuk buku dia “The Sixth Extinction”, soal kepunahan ke enam di dunia ini yang diakibatkan oleh kerusakan alam akibat umat manusia. Buku “The Sixth Extinction” itu sudah pernah juga aku muat di “Bill Gates Soal Kepunahan Ke Enam“.
pulitzer.org/historyofprizes
Hadiah Pulitzer digagas oleh Joseph Pulitzer (1847–1911) seorang kelahiran Hungaria dengan ayah Yahudi dan Ibu Jerman, yang kemudian menjadi penerbit suratkabar di Amerika Serikat. Hadiah Pulitzer muncul berdasarkan pada surat wasiat yang ditulis oleh Joseph Pulitzer pada tahun 1904, berupa 4 award untuk karya jurnalisme, 4 award untuk karya tulisan yang berupa novel Amerika, drama orisinal Amerika yang dimainkan di New York, buku yang mengenai sejarah Amerika Serikat, biografi seorang Amerika, dan sejarah pelayanan masyarakat oleh pers, dan satu award untuk pendidikan, serta satu award untuk beasiswa luar negeri. Pertama kali diberikan pada tahun 1917, Hadiah Pulitzer diserahkan setiap bulan April, dilakukan oleh presiden dari Columbia University berdasarkan rekomendasi Dewan Hadiah Pulitzer. Seiring perjalanan waktu, jumlah kategori ditambah menjadi 21 termasuk kategori untuk puisi, musik, dan fotografi.
 
Poetry

Gregory Pardlo

“Digest” (Four Way Books)

Written in a breezy vernacular style with a lively streetwise inflection, the poems in “Digest” take their inspiration from Mr. Pardlo’s neighborhood, the Bedford-Stuyvesant section of Brooklyn, or tap into his sense of identity. “I was born in minutes in a roadside kitchen a skillet / whispering my name,” the poem “Written by Myself” begins. The collection’s “clear-voiced poems,” the prize committee wrote, “bring readers the news from 21st-century America, rich with thought, ideas and histories public and private.”
Explanatory Reporting

Zachary R. Mider,

Bloomberg News

Mr. Mider, 37, won Bloomberg’s first Pulitzer Prize ever for his series of articles about how United States corporations dodged taxes through practices that included claiming a new address in a foreign country, even if top executives stayed in the United States. The stories showed how regulators helped facilitate the tax avoidance. The Pulitzer board called the series “painstaking, clear and entertaining.”
 
General Nonfiction

Elizabeth Kolbert


“The Sixth Extinction: An Unnatural History” (Henry Holt & Company)
Ms. Kolbert’s book explores the catastrophic effects that climate change and environmental degradation have had on the diversity of life on the planet. The book covers previous periods of mass extinction and examines how humans are driving a current wave of extinctions.“I came to this subject through the scientific literature,” Ms. Kolbert, 53, a staff writer for The New Yorker, said in an interview. “Anyone who comes in contact with it says to themselves, why isn’t this what everyone is thinking about?”
History
Elizabeth A. Fenn
“Encounters at the Heart of the World: A History of the Mandan People” (Hill and Wang)
For this history of the Mandan people of the Dakotas, Ms. Fenn, 55, a professor at the University of Colorado, immersed herself in sources such as centuries-old documents and contemporary Mandan ceremonies. “I try to write in a way that acknowledges the continuum between before 1492 and after,” she said, adding: “I love telling people that I study late medieval and early modern North Dakota. Everyone does a double take.”
 
 
Feature Writing

Diana Marcum,

The Los Angeles Times

Ms. Marcum, who covers Central Valley region of California, won for a series of articles chronicling the effects of the drought on farmers, fieldworkers and residents of the state’s parched rural towns. Her subjects included a farmer who gave names to his pistachio trees — and then saw the state cut off the water that irrigated them. “It wasn’t one of those things where we set out to do a series,” Ms. Marcum, 52, said. “We just thought there must be a lot more going on under the surface than was being reported.”
 
 
Criticism

Mary McNamara,

The Los Angeles Times

Ms. McNamara, 51, the television critic and a senior culture editor for The Times, won after being a finalist in each of the past two years. “With the unbelievable changes that have been going on in TV for the last five, six, seven years, it’s an extraordinary time to be a television critic,” she said. “Right now, it’s the predominant art form in America, and I feel very blessed that I became a critic right about the time it started getting so good.”
 
 
Public Service

Staff, Post and Courier

in Charleston, S.C.

The paper, based in Charleston, S.C., won for its five-part series, “Till Death Do Us Part,” which explored the epidemic of domestic abuse in South Carolina. A reporter and editor on the team, Glenn Smith, said the paper started working on the series after a report issued by the Violence Policy Center at the end of 2013 named South Carolina the deadliest state in the country for women. “We just thought, man, this is horrible,” Mr. Smith, 50, said of the report. “Why are we so bad compared with everyone else?”
dailymail.co.uk
 
Fiction

Anthony Doerr
“All the Light We Cannot See” (Scribner)
Mr. Doerr’s intricately plotted novel takes place in France and Germany during World War II, and centers on two young characters whose lives converge: a blind girl, Marie-Laure, who flees Paris and joins the resistance movement; and a German orphan, Werner, who attends a Hitler Youth academy. Mr. Doerr spent a decade researching and writing the novel, which was also a finalist for the National Book Award and became a major best-seller, with 1.6 million copies in circulation. “The research was so harrowing,” said Mr. Doerr, 41, who lives in Boise, Idaho. “I thought I would never finish the book, and then I did and now a lot of people are reading it, and it’s so weird.”
 
 
Investigative Reporting (Two Prizes)
Eric Lipton,

The New York Times

Mr. Lipton, 49, won for his series of articles about the spread of corporate lobbying to state attorneys general. The Pulitzer committee highlighted the reporting for revealing the slanting of justice “toward the wealthy and connected.”
 
Feature Photography

Daniel Berehulak

for The New York Times

For four months, Mr. Berehulak, a freelance photographer, followed the Ebola crisis as it swept across West Africa, capturing a region in crisis. His stark images brought awareness to the world of the anguish, resignation and desperation of those touched by the disease. Mr. Berehulak, 39, has won numerous awards for his photography and was a 2011 Pulitzer finalist for his coverage of the floods in Pakistan in 2010. “Covering the spread and devastating impact of the Ebola virus in West Africa is by far the most challenging and important assignment of my career,” he said on Monday.

 
 

Hadiah Pulitzer tahun 2015 ini ada yang seperti terkait juga dengan soal aku. Untuk kategori Explanatory Reporting hadiah Pulitzer 2015 diberikan kepada Zachary R. Mider dari Bloomberg News, dan merupakan Pulitzer Prize yang pertama kali didapatkan oleh Bloomberg. Tulisan oleh Zachary R. Mider yang mendapat hadiah Pulitzer itu berupa serial artikel mengenai praktik penghindaran pajak oleh perusahaan AS, antara lain dengan mendaftarkan alamat perusahaan di luar negeri meskipun eksekutif perusahaan itu berada di AS. Dengan kata lain artikel itu mengungkap bagaimana peraturan yang ada dapat dimanfaatkan untuk menghindari pajak.

Nama depan Zachary R. Mider itu kalau di Indonesia biasa berupa Zakaria atau Jakaria, mengingatkan pada nama kiai Djakasuria atau biasa dipanggil pak Djaka, yang sering aku ungkapkan dimana aku pernah menginap di rumah beliau selama 6 bulan di jalan Cendana Jakarta Pusat dekat rumah pak Harto, akibat sakit berat hampir ketemu ajal. Dan artikel yang mendapat hadiah Pulitzer itu mengenai soal perusahaan AS menghindari pajak, jadi seperti terkait soal kesediaanku ketemu ajal yang berarti aku harus menghindari keadaan diobati oleh pak Djaka yang menyebabkan aku tidak lagi bersedia ketemu ajal.

Untuk kategori General Nonfiction, hadiah Pulitzer diberikan kepada Elizabeth Kolbert untuk buku dia yang berjudul “The Sixth Extinction: An Unnatural History” terbitan Henry Holt & Company. Mengenai di dunia ini sudah pernah terjadi lima kali extinction, kepunahan, dimana sebagian besar spesies yang ada di dunia ini punah. Dan kepunahan ke enam, bukan mustahil, akan menimpa umat manusia akibat ulah umat manusia itu sendiri yang menyebabkan kerusakan pada alam. Ini jadi seperti terkait dengan selama ini aku suka khawatir kalau keberadaanku di dunia ini akan memicu kiamat, oleh sebab itu lebih baik aku ketemu ajal untuk kebaikan umat manusia. 

Sedangkan nama penulis buku “The Sixth Extinction” itu yaitu Elizabeth Kolbert mengingatkan pada nama ratu Elizabeth penguasa kerajaan Inggris, yang pernah punya menantu Lady Di. Seperti sering aku ungkapkan, sekitar tahun 1995-1997 aku menulis beberapa surat dan membuat beberapa lukisan mengenai Lady Di karena aku pikir nama beliau seperti kata “die” yang berarti mati, sesuai kesediaanku untuk ketemu ajal. Namun kemudian malah Lady Di yang ketemu ajal bersama Doddy Al Fayed di Paris tahun 1997.

Nama Elizabeth lain juga muncul pada Pulitzer 2015 yaitu untuk kategori History diberikan kepada Elizabeth A. Fenn untuk tulisan berupa buku berjudul “Encounters at the Heart of the World: A History of the Mandan People” terbitan Hill and Wang. Buku itu mengenai masyarakat Indian dari suku Mandan di North Dakota. Nama belakang Elizabeth A. Fenn mengingatkan pada kata “fan” yang berarti penggemar, sedangkan nama suku Mandan seperti berarti “Firman tidak end”. Jadi seperti terkait dengan sikapku yang lebih suka menjadi fan dari Lady Di, karena sesuai dengan kesediaanku untuk “die”, untuk ketemu ajal. Sebab kalau aku menjadi fan dari ratu Elizabeth maka aku akan Mandan, “Firman tidak end”, tidak sesuai dengan kesediaanku ketemu ajal untuk kebaikan umat manusia.

Seperti untuk memperkuat soal Ratu Elizabeth dan Lady Di itu, Pulitzer 2015 untuk kategori Feature Writing diberikan kepada Diana Marcum dari The Los Angeles Times untuk tulisan liputan mengenai pertanian di Central Valley, California. Nama belakang Diana Marcum itu seperti berarti “eMa Rahma, see you eM” sesuai status kamu sebagai Ema untuk aku, seperti tanteku tante Ema yang tetap hidup setelah sang suami wafat. Jadi agar kamu jangan ikut aku ketemu ajal seperti Lady Diana ikut Doddy Al Fayed meninggal dunia. Ungkapan “see you” biasa diucapkan kalau orang akan pergi jauh, seperti aku yang akan pergi jauh meninggalkan dunia ini tanpa mengajak kamu.

Diperkuat lagi dengan hadiah Pulitzer 2015 untuk kategori Public Service yang diberikan kepada harian The Post And Courier yang berkantor pusat di Charleston, South Carolina, untuk tulisan berupa lima seri berjudul “Till Death Do Us Part”, mengenai kasus kekerasan kepada perempuan yang menonjol di South Carolina. Harian The Post And Courier merupakan koran harian tertua di kawasan Selatan Amerika Serikat, berawal dari harian The Courier yang didirikan tahun1803 dan The Evening Post yang didirikan tahun 1894. Lalu tahun 1926 perusahaan pemilik harian The Evening Post membeli harian The Courier yang saat itu sudah berubah nama jadi The News And Courier, namun masing-masing tetap terbit secara terpisah. Baru pada tahun 1991 kedua harian bergabung menjadi The Post And Courier.

Untuk kategori Fiction, hadiah Pulitzer 2015 diberikan kepada Anthony Doerr untuk tulisan berupa buku fiksi “All the Light We Cannot See” oleh penerbit Scribner, dan menjadi best-seller di New York Times. Novel fiksi itu mengenai kisah Marie-Laure gadis buta asal Perancis dan pemuda yatim piatu Werner asal Jerman, dalam suasana Perang Dunia 2. Marie-Laure merupakan anak dari seorang ahli pembuat kunci, dan mulai menjadi buta saat berusia 6 tahun sehingga sang ayah membuatkan miniatur denah rumah mereka agar dia dapat mudah menghafal dan kalau bepergian dapat pulang ke rumah dengan baik. Sedangkan pemuda yatim piatu Werner sempat masuk ke akademi yang brutal yang dikenal dengan sebutan Hitler Youth, lalu masuk ke penugasan untuk melacak para pemberontak selama perang, sebelum kemudian mulai bertemu dengan gadis buta Marie-Laure.

Nama penulis Anthony Doerr itu seperti memuat dua makna untuk aku. Makna pertama adalah terkait arti nama belakang “Doerr” yang mengingatkan pada kata “dower”, sesuai bibirku yang memang dower. Seperti untuk menetralisir surat “Upaya Mencegah Aku Dikutuk Jadi Co-Pilot Yang Menubrukkan Umat Manusia Ke Kiamat Akibat Aku Tidak Bersyukur“, sebab cewe yang tinggal di sebelah rumahku itu dulu juga berbibir agak dower, jadi kurang bagus kalau dower ketemu dower. Sedangkan cowo yang sekarang jadi suami dia tidak berbibir dower, dan memang lebih ganteng dari aku, jadi aku justru harus bersyukur tidak menikah sama cewe itu sehingga memungkinkan cewe itu mendapat suami yang lebih baik dari aku dari berbagai sudut pandang.

Soal bibirku dower itu diperkuat dengan hadiah Pulitzer untuk kategori Investigative Reporting (Two Prizes) yang diberikan kepada Eric Lipton dari The New York Times. Nama belakang Eric Lipton itu memuat “Lip”, kata bahasa Inggris yang berarti bibir, jadi terkait juga dengan soal dower. Tulisan dari Eric Lipton yang mendapat hadiah Pulitzer itu berupa serial artikel mengenai maraknya praktik lobbying antara perusahaan dengan jaksa agung tingkat negara bagian di AS, sehingga keadilan lebih berpihak kepada yang berduit dan ada koneksi.

Makna kedua dari nama belakang Anthony Doerr itu seperti terkait kata bahasa Inggris “do” dan akhiran “er”, yaitu agar aku tidak cuma berkutat pada rencana dan wacana saja, sekedar “planner” saja tanpa diwujudkan, melainkan agar aku menjadi “doer”, mewujudkan apa yang aku rencanakan selama ini. Terutama dalam hal kalau lukisan-lukisanku jadi dibeli dengan harga yang baik, tentu kurang bertanggungjawab kalau aku cuma sebatas rencana dan wacana saja dalam upaya mencegah “Sixth Extinction” yang berupa kepunahan umat manusia, lebih baik aku mewujudkan apa yang selama ini aku rencanakan yaitu melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk menggali inspirasi, sebelum kemudian aku ketemu ajal.

Sampai dengan paragraf diatas, ditambah pengecekan ulang serta perbaikan di beberapa bagian seperti pada kalimat maupun pada kode html, menyesuaikan alamat URL foto dan grafis sesuai standar di wordpress.com, dan juga meminimalkan ukuran kilobyte foto dan grafis, telah aku selesaikan sekitar jam 2 siang. Semula aku pikir sudah cukup surat ini untuk aku muat di Internet, karena hadiah untuk kategori lain di Pulitzer 2015 itu tidak ada lagi yang seperti terkait dengan aku. Namun seperti biasa sebelum memuat di Internet aku suka terlebih dulu buka Twitter untuk mengetahui barangkali ada soal lain yang penting untuk diselipkan dari tweet Bill Gates yang terbaru. Dan ternyata betul juga, ada tweet terbaru Bill Gates yang dimuat 29 April 2015 jam 1.35 PM yang menyadarkan aku bahwa fotografer Daniel Berehulak perlu dimuat juga, sebab nama belakang dia seperti memuat nama “Ula” yang aku pernah tulis di “Mempertahankan Tri Sula Iman Dari Menjadi Kerajaan Terakhir Umat Manusia“. Daniel Berehulak merupakan warga Australia, anak dari imigran asal Ukraina, dan sekarang menjadi fotografer berbasis di India. Dia bekerja free-lance untuk kantor agensi foto Getty Images yang berpusat di Seattle, Amerika Serikat.

Jadi semakin urgen untuk aku kalau lukisan-lukisanku jadi dibeli dengan harga yang baik, aku harus ikut berupaya mencegah “Sixth Extinction” yang berupa kepunahan umat manusia, dengan melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk menggali inspirasi sebelum kemudian aku ketemu ajal.

 
 

Jakarta,  29 April 2015.
wassalam,

 
 

a.m. firmansyah
sms +62812 183 1538

 
 
 

Leave a comment